Dikisahkan tentang seorang pendeta yang memarkir mobilnya tepat di depan papan bertanda “Dilarang Parkir!”. Ia ‘terpaksa’ melakukannya karena terburu-buru hendak memimpin ibadah dan tidak sempat menemukan tempat parkir di sekitar lokasi tersebut. Jadi ia menempelkan selembar kertas memo di kaca depan bertulisan: “Kami telah memutari tempat ini sepuluh kali dan kami tidak menemukan tempat untuk memarkir kendaraan kami. Jika kami tidak parkir di sini, kami bisa terlambat memimpin ibadah. Ampunilah kami akan kesalahan kami.” Sekembalinya sang pendeta setelah memimpin ibadah, ia menemukan surat tilang dari seorang polisi lalu lintas dengan catatan tambahan: “Kami telah memutari tempat ini selama sepuluh tahun. Jika kami tidak menilang Anda, kami akan kehilangan pekerjaaan. Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”.
Kisah yang lain tentang seorang pemuda –yang belum menikah- sedang mengadakan perjalanan dengan menggunakan transportasi bis. Kebetulan ia duduk di antara dua orang wanita. Yang satu adalah seorang gadis muda nan cantik dan yang lain adalah seorang nenek tua. Perjalanan melewati rute yang berkelok-kelok, sehingga seringkali sang pemuda ‘bersenggolan’ dengan kedua wanita yang duduk di sebelahnya. Ketika ia ‘bersenggolan’ dengan sang gadis, ia berkata dalam hati: “Jadilah kehendak-Mu!”, namun ketika ia ‘bersenggolan’ dengan sang nenek, ia balik bergunyam: “Jauhkan kami daripada pencobaan!”. Tentu saja kedua kisah di atas hanyalah kisah fiktif belaka. Saat kita tertawa membaca anekdot tadi, sebenarnya kita sedang menertawakan diri kita sendiri. Dengan mudah kita menghafal dan melafalkan isi ‘Doa Bapa Kami’, namun apakah semudah itu pula kita mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari?
Harus kita sadari dan akui bahwa betapa sering kita mengucapkan ‘Doa Bapa Kami’ tanpa pernah melihat kaitannya dengan keseharian kita, atau pun memikirkan konsekuensi dari doa yang kita ucapkan tersebut. Mari kita coba mengujinya dengan membaca, merenungkan, dan mengintrospeksi diri melalui ‘Doa Bapa Kami’ ini; sebuah doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri kepada murid-murid-Nya. Jangan mengatakan “BAPA”, kalau sehari-hari Saudara tidak berlaku sebagai anak Tuhan. Saudara akan menjadi seperti kisah anak yang hilang dalam perumpamaan Yesus. Jangan mengatakan “KAMI”, kalau Saudara masih senang hidup dalam keegoisan dan mementingkan diri sendiri; Jangan mengatakan “YANG ADA DI SORGA”, kalau Saudara hanya memikirkan hal-hal duniawi; Jangan mengatakan “DIKUDUSKANLAH NAMA-MU”, kalau Saudara tidak menghormati-Nya; Jangan mengatakan “JADILAH KEHENDAK-MU”, kalau Saudara hanya mau menerima yang baik, tetapi tidak mau menerima yang berat dan pahit.
Jangan mengatakan “BERILAH KAMI HARI INI MAKANAN KAMI YANG SECUKUPNYA”, kalau Saudara tidak prihatin akan mereka yang lapar, buta huruf, dan yang tanpa harapan untuk besok; Jangan mengatakan “AMPUNILAH KESALAHAN KAMI”, kalau Saudara masih menyimpan kebencian dan dendam terhadap sesamamu; Jangan mengatakan “JANGANLAH MEMBAWA KAMI KE DALAM PENCOBAAN”, kalau Saudara terus-menerus bermain-main dalam dosa; Jangan mengatakan “LEPASKAN KAMI DARIPADA YANG JAHAT”, kalau Saudara tidak tegas dan berani melawan kejahatan; Jangan mengatakan “AMIN”, kalau Saudara tidak menganggap serius setiap kata doamu BAPA KAMI. Sulit? Tentu saja! Namun bukan berarti tidak bisa!
Martin Luther, bapa reformator gereja, saat menjadi rahib, pernah mengalami kesu-litan untuk mengucapkan Doa Bapa Kami. Masalahnya bukan karena ia kesulitan untuk menghafal dan melafalkan Doa Bapa Kami, tetapi sesuatu yang bersifat psikologis dan teologis. Dia mengalami kesulitan untuk membayangkan Allah se-bagai seorang ‘Bapa’. Setiap kali ia mengucapkan “Bapa Kami yang di Sorga”, ia langsung teringat sikap ayahnya yang bernama Hans Luther. Sepertinya sang ayah telah mendidik anak-anaknya dengan sikap kasar dan melukai hati mereka. Luka-luka batin itulah yang merusak persepsinya tentang sosok ayah. Di alam bawah sadarnya, terbentuklah sosok ayah yang negatif, termasuk gelar Allah sebagai Bapa. Hanya dengan pertolongan Roh Kudus kita bisa mengucapkan dan mempraktekkan Doa Bapa Kami ini dengan sungguh-sungguh. Rasul Paulus sendiri pernah berkata kepada jemaat Roma, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita, sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).